Rabu, 09 Mei 2012

makalah pesan politik gusdur


PESAN POLITIK KH.ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR)
DALAM GERAKAN DEMOKRASI DI INDONESIA
The politic message by GUSDUR For democracy movement in Indonesia
Oleh: Muhammad Nuruddin, S.Pd.I



Pemikiran Gus Dur bisa dipahami sebagai produk dari pergumulan intensifnya dengan tiga kepedulian utama, yaitu : 1. revitalisasi khazanah Islam tradisional ahlussunnah wal Jama’ah, yang kurang dipahami dan dikembangkan oleh warga NU, 2. keterlibatan dalam wacana dan kiprah modernitas, dan 3. pencarian jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi umat Islam di Indonesia.
Pertama, terlihat bahwa dalam pemikirannya, keyword yang sering dipakai Gus Dur adalah ’dinamisasi’. istilah dinamisasi yang digunakan Gus Dur merupakan sebuah terebosan kreatif, lewat kahazanah Islam tradisional yang dapat digali untuk menjawab tantangan-tantangan dunia modern, termasuk di bidang politik. Islam tradisional yang sering dianggap konservatif, oleh Gus Dur justru dianggap sebagai salah satu kelompok yang paling siap mengantisipasi perubahan dalam masyarakat di Indonesia.
Salah satu nilai yang berhasil didinamisasikan Gus Dur dalam melakukan pembaharuan di bidang politik adalah komitmen kemanusiaan (humanitarianism, insaniyyah) yang ada dalam ajaran Islam.
Menurut Hakim (1993: 90) bahwa dalam pandangan Gus Dur, nilai kemanusiaan digunakan sebagai dasar bagi penyelesaian tuntas persoalan utama kipra politik umat, yakni posisi komunitas di dalam sebuah masyarakat modern dan pluralistik di Indonesia. Humanistik Islam pada intinya menghargai sikap toleran dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap kerukunan sosial (social harmony).
Kedua, politik yang diperjuangkan oleh Gus Dur secara konsisten adalah komitmen terhadap sebuah tatanan politik nasional yang dihasilkan oleh proklamasi kemerdekaan, di mana semua warga negara memiliki derajat yang sama tanpa memandang asal usul agama, ras, etnis, bahasa dan jenis kelamin. Konsekuensinya, politik umat Islam di Indonesia terikat dengan komitmen tersebut.
Ketiga, Hilangkan faham eksklusivisme, sektarianisme dan previlege-previlege dalam politik harus dijauhi. Termasuk disini adalah pemberlakukan ajaran melalui negara dan hukum formal, demikian pula ide proporsionalitas dalam perwakilan di lembaga-lembaga negara. Tuntunan semacam ini jelas berlawan dengan asas kesetaraan (egalitarianism) bagi warga negara.
Implikasi lain dari komitmen terhadap asas kesetaraan ini adalah bentuk penolakan Gus Dur terhadap ide pembentukan masyarakat dan negara Islam sebagai tujuan politik umat di Indonesia. Menurutnya, kedua ide tersebut pada prinsipnya memiliki persamaan tujuan : formalisasi ajaran dalam masyarakat lewat perangkat hukum. Ini berarti keinginan untuk menegakkan sebuah komunitas politik yang ekslusif di luar jangkauan hukum dan objektiv yang diberlakukan kepada seluruh warga negaranya. Ini terang tidak konsisten dengan semangat UUD 1945 yang hanya mengakui komunitas politik tunggal yaitu warga negara Indonesia.
Sebab itulah, bagi Gus Dur, seperti dikemukakan oleh Douglas dalam bukunya (Afandi: 1996) sebuah Negara Islam tidak perlu ada di negeri ini akan tetapi masyarakat yang bernafaskan Islam. Dan Yang harus diperjuangkan oleh umat dalam politik adalah sebuah masyarakat Indonesia dimana ’umat Islam yang kuat, dalam pengertian berfungsi dengan baik’ sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan yang lain.

Muhammad Nuruddin
(Kel. Bani Aqrobuddin Kaliyoso Kangkung Kendal)
Alamat:
Ds. Mojosari Kec. Sedan Kab. Rembang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar