PESAN POLITIK KH.ABDURRAHMAN
WAHID (GUS DUR)
DALAM GERAKAN DEMOKRASI DI INDONESIA
The politic message by GUSDUR For democracy movement in Indonesia
Oleh: Muhammad Nuruddin, S.Pd.I
Pemikiran Gus Dur bisa dipahami sebagai produk dari
pergumulan intensifnya dengan tiga kepedulian utama, yaitu : 1. revitalisasi
khazanah Islam tradisional ahlussunnah
wal Jama’ah, yang kurang dipahami dan dikembangkan oleh warga NU, 2. keterlibatan
dalam wacana dan kiprah modernitas, dan 3. pencarian jawaban atas persoalan
konkret yang dihadapi umat Islam di Indonesia.
Pertama, terlihat bahwa dalam pemikirannya, keyword
yang sering dipakai Gus Dur adalah ’dinamisasi’. istilah
dinamisasi yang digunakan Gus Dur merupakan sebuah terebosan kreatif, lewat
kahazanah Islam tradisional yang dapat digali untuk menjawab
tantangan-tantangan dunia modern, termasuk di bidang politik. Islam tradisional
yang sering dianggap konservatif, oleh Gus Dur justru dianggap sebagai salah
satu kelompok yang paling siap mengantisipasi perubahan dalam masyarakat di
Indonesia.
Salah satu nilai yang berhasil didinamisasikan Gus Dur
dalam melakukan pembaharuan di bidang politik adalah komitmen kemanusiaan (humanitarianism, insaniyyah) yang ada
dalam ajaran Islam.
Menurut Hakim (1993: 90) bahwa dalam pandangan Gus Dur,
nilai kemanusiaan digunakan sebagai dasar bagi penyelesaian tuntas persoalan
utama kipra politik umat, yakni posisi komunitas di dalam sebuah masyarakat
modern dan pluralistik di Indonesia. Humanistik Islam pada intinya
menghargai sikap toleran dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap kerukunan
sosial (social harmony).
Kedua, politik yang diperjuangkan oleh Gus
Dur secara konsisten adalah komitmen terhadap sebuah tatanan politik nasional
yang dihasilkan oleh proklamasi kemerdekaan, di mana semua warga negara
memiliki derajat yang sama tanpa memandang asal usul agama, ras, etnis, bahasa
dan jenis kelamin. Konsekuensinya, politik umat Islam di Indonesia terikat
dengan komitmen tersebut.
Ketiga, Hilangkan faham eksklusivisme,
sektarianisme dan previlege-previlege
dalam politik harus dijauhi. Termasuk disini adalah pemberlakukan ajaran
melalui negara dan hukum formal, demikian pula ide proporsionalitas dalam
perwakilan di lembaga-lembaga negara. Tuntunan semacam ini jelas berlawan dengan
asas kesetaraan (egalitarianism) bagi
warga negara.
Implikasi lain dari komitmen terhadap asas kesetaraan ini
adalah bentuk penolakan Gus Dur terhadap ide pembentukan masyarakat dan negara
Islam sebagai tujuan politik umat di Indonesia. Menurutnya, kedua ide tersebut
pada prinsipnya memiliki persamaan tujuan : formalisasi ajaran dalam masyarakat
lewat perangkat hukum. Ini berarti keinginan untuk menegakkan sebuah komunitas
politik yang ekslusif di luar jangkauan hukum dan objektiv yang diberlakukan
kepada seluruh warga negaranya. Ini terang tidak konsisten dengan semangat UUD
1945 yang hanya mengakui komunitas politik tunggal yaitu warga negara
Indonesia.
Sebab itulah, bagi Gus Dur, seperti dikemukakan oleh
Douglas dalam bukunya (Afandi: 1996) sebuah Negara Islam tidak perlu ada di
negeri ini akan tetapi masyarakat yang bernafaskan Islam. Dan Yang harus
diperjuangkan oleh umat dalam politik adalah sebuah masyarakat Indonesia dimana
’umat Islam yang kuat, dalam pengertian berfungsi dengan baik’ sebagai warga
negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan yang lain.
Muhammad
Nuruddin
(Kel. Bani
Aqrobuddin Kaliyoso Kangkung Kendal)
Alamat:
Ds.
Mojosari Kec. Sedan Kab. Rembang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar